Navbar

Global Var

Senin, 25 Juni 2012

Sang Pencipta Himne Yang Terlupakan


Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
S’bagai prasati trimakasihku tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa

Istilah “Pahlawan tanpa tanda jasa” bahkan kemudian menjadi ikon yang disematkan kepada para guru. Siapa sangka bila “sang pahlawan” yang tanpa tanda jasa itu sejatinya dialami si pencipta lagu tersebut. Ya, beliau adalah Sartono pencipta lagu yang juga guru itu dimasa senjanya hidup dalam kesederhanaan. Laki-laki asal Madiun, Jawa Timur ini tinggal dirumah sederhana Jl. Halmahera 98, Madiun.


Sejak ia mengajar musik di SMP Purna Karya Bhakti Madiun pada tanggal 1978, hingga “pensiun” pada tahun 2002 lalu, Sartono tetap menyandang guru honorer. Ia tak punya gaji pensiunan, karena statusnya bukan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kawan-kawan sesama guru sempat membantu mengajukan dia menjadi PNS. “Katanya sih sering diajukan nama saya, tetapi sampai saya pension dari tugas sebagai guru, PNS untuk saya kok tidak dating juga”, kata Sartono.

Beliau memang mider dengan latar belakang pendidikannya yang tak tamat SMA. Ia mengajar di SMP Purna Karya Bhakti yang belakang lebih dikenal sebagai SMP Kristen Santo Bernadus. Berbekal bakatnya dibidang musik, beliau beragama Islam itu melamar di Santo Bernadus. Berbekal sertifikat pengalaman kerja di Lokananta, perusahaan pembuat piringan hitam di Solo, Jawa Tengah.

Hidup serba dalam kesempitan, tak emmbuat beliau meratapi nasib. Ia merasa terhibur, dengan kebersamaan dengan Damiyati, Ba, istrinya yang guru PNS. Damiyati dinikahi beliau pada tahun 1971. Dari pernikahan mereka belum jua dikaruniai anak. Sehingga mereka mengasuh dua orang keponakan. Damiyati yang juga guru, juga seniman, biasa manggung  bersama Ketoprak Siswo Budoyo Tulungagung, di masa mudanya. Kala masih kuat, beliau menambal periuk dapurnya dengan mengajar music. Sepekan sekali, beliau yang pandai bermain piano, gitar, dan sasksofon, ini rutin mengajar kulintang di Perhutani Ngajuk, sekitar 60 Km dari rumahnya di Madiun.

BERMULA DARI LOKANANTA
Jalan menuju guru bermula dari kegemarannya bermain music. Putra sulung dari lima bersudara ini sebenarnya lahir dari keluarga cukup berada. Maklum, ayahnya R. Soepadi adalah Camat Lorog, Pacitan. Sartono kecil memang suka bermain music secara otodidak. Namun hidup nyaman tidak bisa dirasakan lama-lama. Ketika ia berusia 7 tahun, Jepang menduduki Indonesia. Ayahnya pun tak lagi menjabat camat. Sartono, bersama empat adiknya, Sartini, Sartinah, Sarwono, dan Sarsanti, tak bisa mengenyam pendidikan tinggi. Ia sendiri putus sekolah kala kelas dua di SMA Negeri 3 Surabaya

Ia kemudian bekerja di Lokananta, perusahaan rekaman dan produsen piringan hitam. Selepas bekerja di Lokananta, Sartono bergabung dengan grup music keroncong miliki TNI AU di Madiun. Ia bersama kelompok musik tentara itu pernah menghibur tentara di Irian. “Di sana selama tiga bulan,” jelasnya.

DARI SECARIK KERTAS
Ihwal pencipta lagu himne guru itu boleh dibilang tak sengaja. Ketika itu, tahun 1980, Sartono tengah naik bus menuju Perhutani Nganjuk, untuk mengajar kulintang. Di perjalanan, secara tidak sengaja ia membaca di secarik kertas, mengenai sayembara penciptaan lagu himne guru diselenggarakan Depdiknas. Hadiahnya besar untuk saat itu, Rp. 750.000. Waktu yang tersisa dua pecan, untuk merampungkan lagu. Beliau yang tak bisa mmbaca not balok ini, mulai tenggelam dalam kerja keras mengarang lagu saban harinya. “Saya mencermati betul seperti apa sebenarnya guru itu,” jelas Sartono sambil memulai membuat lagu itu.

Waktu Sudah mepet, lagu belum juga jadi, beliau pusing bukan kepalang. Syairnya masih amburadul. Pada hari pertama Hari Raya Idul Fitri, Sartono tidak keluar rumah. Ia bahkan tak turut beranjang sana mengantar istri dan dua keponakannya silaturarahmi ke orang tua dan sanak family. “Saat itu kesempatan bagi saya untuk membuat lagu dan syair secara serius. Waktu itu saya merasa begitu lancar membuat lagu dan menulis syairnya,” katanya. Awalnya, lirik yang ia ciptakan kepanjangan. Padahala, durasi lagu tak lebih dari empat menit. Sartono pun berkali-kali mengkajinya untuk mengetahui mana yang harus dibuang. “Karena panjang sekali, maka saya harus membuang beberapa syairnya,” jelas Sartono. Hingga muncullah istilah “pahlawan tanpa tanda jasa.”

“Guru itu juga pahlawan. Tetapi selepas mereka berbakti tak satu pun ada tanda jasa menempel pada mereka, seperti yang ada pada polisi atau tentara,”katanya. Persoalan tak begitu saja beres. Setelah lagu tercipta, Sartono kebingungan mengirimnya ke panitia lomba di Jakarta. Sebab ia tidak punya uang untuk biaya pengiriman via pos. “Akhirnya saya menjual jas untuk biaya pos,” katanya. Sartono menang. “Hadiahnya berupa cek. Sesampai di Madiun saya tukarkan dengan sepeda motor di salah satu dealer,” kata Sartono.

PENGAHARGAAN MINIM
Lagunya melambung, beliau tidak. Sang pencipta tetap saja menggeluti dunia mengajar sebagai guru honorer hingga pension. Kalaulah ada penghargaan selain hadiah mencipta lagu, “cuma” beberapa lembar piagam ucapan terima kasih. Nampak piagam berpigura dari Gubernur Jawa Timur, Imam Utomo yang diberikan pada tahun 2005. Pak Gubernur juga memberikan bantuan Rp. 600.000, plus sebuah keyboard.

Piagam lainnya diberikan Menteri Pendidikan Nasional, Yahnya Muhaimin pada tahun 2000. Kemudian piagam dari Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Soedibyo pada tahun 2005, plus bantuan uang. “Isinya enam ratus ribu rupiah,” kata Sartono. Tahun 2006 lalu, giliran Walikota Madiun yang dalam sepanjang sejarah baru dua kali ini memberikan perhatian kepadanya. “Pak Walikota menghadiahi saya sepeda motor Garuda,” kata Sartono seraya menunjuk sepeda motor pemberian Walikota Madiun.

Meski minim erhatian, beliau tetaplah bangga, lagunya menjadi himne para guru. Pekerjaan yang dilakoninya selama 24 tahun. Pengabdian yang tak pendek bagi seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Beliau berpesan pada generasi muda, khusunya kita sebagai pelajar. Bahwa segala sesuatu itu mungkin, tak ada yang tak mungkin. Dan satu hal yang tak terlupakan dari beliau yaitu motto hidupnya “Ana dina ana sega.”

0 komentar:

Comments Utility